Minggu, 19 April 2009

makalah1

BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Teori Motivasi
1. Pengertian
Motivasi adalah karakteristik psikologi manusia yang memberi kontribusi pada tingkat komitmen seseorang. Hal ini termasuk faktor-faktor yang menyebabkan, menyalurkan dan mempertahankan tingkah laku manusia dalam arah tekad tertentu. Motivasi menurut Ngalim Purwanto (2000) adalah bahwa motivasi merupakan segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi adalah perasaan atau pikiran yang mendorong seseorang melakukan pekerjaan atau menjalankan kekuasaan terutama dalam berperilaku.
Memotivasi adalah proses manajemen untuk mempengaruhi tingkah laku manusia berdasarkan pengetahuan mengenai “Apa yang membuat orang tergerak” (Stoner & Freeman, 1995). Menurut bentuknya motivasi terdiri dari:
a. Motivasi intrinsik: yaitu motivasi yang datangnya dari dalam diri individu.
b. Motivasi ekstrinsik: yaitu motivasi yang datangnya dari luar individu.
c. Motivasi terdesak: motivasi yang muncul dalam kondisi terjepit dan munculnya serentak serta menghentak dan cepat sekali.

2. Teori-teori motivasi (Stoner & Freeman, 1995)
a. Teori kebutuhan
Teori kebutuhan memfokuskan pada yang dibutuhkan orang untuk hidup berkecukupan. Dalam praktiknya, teori kebutuhan berhubungan dengan bagian pekerjaan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan seperti itu.


Yang termasuk dalam teori kebutuhan adalah:
1) Teori hirarki kebutuhan menurut Maslow
Dikembangkan oleh Abraham Maslow, dimana dia memandang manusia sebagai hirarki lima macam kebutuhan, mulai dari kebutuhan fisiologis yang paling mendasar sampai kebutuhan tertinggi yaitu aktualisasi diri. Menurut Maslow, individu akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhan yang paling menonjol atau paling kuat bagi mereka pada waktu tertentu.
2) Teori ERG
Teori ERG adalah teori motivasi yang menyatakan bahwa orang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan tentang eksistensi (existence, kebutuhan mendasar dari Maslow), kebutuhan keterkaitan (relatedness, kebutuhan hubungan antar pribadi) dan kebutuhan pertumbuhan (=Growth, kebutuhan akan kreativitas pribadi atau pengaruh produktif).
Teori ERG menyatakan bahwa kalau kebutuhan yang lebih tinggi mengalami kekecewaan, kebutuhan yang lebih rendah akan kembali, walaupun sudah terpuaskan.
3) Teori tiga macam kebutuhan
John W. Atkinson, mengusulkan ada tiga macam dorongan mendasar dalam diri seseorang yang termotivasi, kebutuhan untuk mencapai prestasi (need for achivement), kebutuhan kekuatan (need of power), dan kebutuhan untuk berafiliasi atau berhubungan dekat dengan orang lain.
Penelitian Mc. Clelland juga mengatakan bahwa manager dapat sampai tingkat tertentu, menaikkan kebutuhan untuk berprestasi dari karyawan dengan menciptakan lingkungan kerja yang memadai.
4) Teori motivasi dua faktor
Dikembangkan oleh Frederick Herzberg dimana Herzberg menyakini bahwa karyawan dapat dimotivasi oleh pekerjaannya sendiri dan di dalamnya terdapat kepentingan yang disesuaikan dengan tujuan organisasi. Dari penelitiannya, Herzberg menyimpulkan bahwa ketidakpuasan kerja dan kepuasan kerja dalam bekerja muncul dari set faktor yang terpisah.
b. Teori keadilan
Teori keadilan didasarkan pada asumsi bahwa faktor utama dalam motivasi pekerjaan adalah evaluasi individu atau keadilan dari penghargaan yang diterima. Individu akan termotivasi kalau mereka mengalami kepuasan dan mereka terima dari upaya dalam proporsi dan dengan usaha yang mereka pergunakan.
c. Teori harapan
Menyatakan cara memilih dan bertindak dari berbagai alternatif tingkah laku, berdasarkan harapannya apakah ada keuntungan yang diperoleh dari tiap tingkah laku.
Teori harapan berpikir atas dasar:
1) Harapan hasil prestasi
Individu mengharapkan konsekuensi tertentu dari tingkah laku mereka. Harapan ini nantinya akan mempengaruhi keputusan mereka tentang cara bertingkah laku.
2) Valensi
Hasil dari suatu tingkah laku tertentu mempunyai valensi atau kekuatan untuk memotivasi, yang bervariasi dari satu individu ke individu yang lain.
3) Harapan prestasi usaha
Harapan orang mengenai seberapa sulit untuk melaksanakan tugas secara berhasil dan mempengaruhi keputusan tentang tingkah laku.
d. Teori penguatan
Teori penguatan, yang dikaitkan dengan ahli psikologi B.F Skinner dengan teman-temannya, menunjukkan bagaimana konsekuensi tingkah laku di masa lampau yang mempengaruhi tindakan pada masa depan dalam proses belajar siklis. Proses ini dapat dinyatakan sebagai berikut:
Rangsangan à Respon à Konsekuensi à Respon masa depan
Dalam pandangan ini, tingkah laku sukarela seseorang terhadap suatu situasi atau peristiwa merupakan penyebab dari konsekuensi tertentu.
Teori penguatan menyangkut ingatan orang mengenai pengalaman rangsangan respon konsekuensi. Menurut teori penguatan, seseorang termotivasi kalau dia memberikan respon pada rangsangan dalam pola tingkah laku konsisten sepanjang waktu.

2.2 Peran Manajer dalam Menciptakan Motivasi

2.3



HAK ASASI MANUSIA DALAM MASYARAKAT


MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata pelajaran “Bahasa Indonesia”





Disusun oleh:

RINDYA WINDARI









SMA NEGERI 3 TASIKMALAYA
Jl. Letkol Basyir Surya No. 89 ( (0265) 334889
2009
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT, karena berkat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat”.
Kami menyadari, tentunya dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna di karenakan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan kami. Oleh karena itu mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Totong M.K. S.Pd., selaku guru pembimbing dan rekan-rekan yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan para pembaca pada umumnya.



Tasikmalaya, April 2009


Penulis




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................... ii
BAB I....... PENDAHULUAN
A. Latar belakang ............................................................ 1
B. Tujuan dan kegunaan ................................................. 2
C. Sistematika penulisan ................................................ 2
BAB II...... PEMBAHASAN ................................................................ 3
.................. “Hak asasi manusia dalam masyarakat”
BAB III.... RUMUSAN MASALAH .................................................. 11
BAB IV.... KESIMPULAN .................................................................. 12
BAB V...... PENUTUP .......................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 14

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Masa depan bangsa ada pada kesejahteraan anak-anak saat ini, begitu kata-kata yang sering didengar bila membicarakan anak. Apalagi bila dilakukan pencemaran terhadap petikan karya Gibran berikut ini:
Anak bukanlah anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan
Cinta kasihmu dapat kau berikan pada mereka, tapi bukan pikiranmu
Karena mereka mempunyai pikiran sendiri
Raga mereka dapat kau kurung, tapi tidak jiwa mereka karena jiwa
Mereka tinggal di rumah masa depan yang tak dapat kau kunjungi
Bahkan tidak melalui mimpimu
Kau dapat berjuang untuk menyerupai mereka
Tapi jangan coba buat mereka menyerupaimu
Karena hidup tidak berjalan mundur
Ataupun berlambat, dengan hari kemarin
Kau adalah busur yang memanaskan mereka
Anak panah yang berjiwa
Sayangnya, hal itu tidak begitu berbanding lurus dengan realita yang ada masih banyak anak-anak yang tidak beruntung dalam pemenuhan haknya, yang dimaksud secara mendasar meliputu kelangsungan hidup, tumbuh berkembang, perlindungan dan partisipasi. Telah ada orang tua yang menginginkan anaknya menjadi anak jalanan, buruh upahmurah, pemuas nafsu si hidung belang, juga sebagai pengamen yang serting kita saksikan diatas kendaraan umum dan pinggiran jalan. Disisi lain seorang anak juga tidak pernah minta dilahirkan, ia ketika terlahir kemudian menjadi pemuas nafsu bejad yang dicabuk oleh ayah tirinya bahkan ayah kandungnya.

B. Tujuan dan Kegunaan
Ø Untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Ø Mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki kami yang didapat selama belajar.

C. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari 5 bab yang disusun sebagai berikut.
Bab I Pendahuluan
Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang tujuan dan kegunaan serta sistematika penulisan.
Bab II Pembahasan
Bab ini berisi uraian tentang Hak Asasi Manusia
Bab III Rumusan Masalah
Bab ini berisi tentang pertanyaan- pertanyaan yang akan dibahas.
Bab IV Kesimpulan
Bab ini berisi kesimpulan dari pembahasan
Bab V Penutup
Bab ini berisi kritik dan saran


BAB II
PEMBAHASAN


Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa “hak” adalah (1) yang benar; (2) mulik, kepunyaan, (3) kewenangan, (4) kekuasaan untuk berbuat sesuatu, (5) kekuasaan yang benar atas sesuatu untuk menuntut sesuatu, (6) derajat atau martabat, (7) hukum, wewenang menurut hukum. Hak asasi adalah kebutuhan yang bersifat mendasar dari umat manusia. Pengertian yang beragam dan luas tersebut pada dasarnya mengandung prinsip bahwa, hak adalah sesuatu yang oleh sebab itu seseorang (pemegang) memiliki keabsahan untuk menuntut sesuatu yang dianggap tidak dipenuhi atau diingkari. Seseorang yang memegang hak atas sesuatu, maka orang tersebut dapat memperlakukan sesuatu tersebut sebagimana dikehendaki, atau sebagaimana keabsahan yang dimilikinya.
Pertanyaan mengenai asal-usul hak asasi telah menjadi perdebatan penting dan amat panjang dari pergulatan pemikiran dalam sejarah konsep hak asasi manusia. Hak asasi merupakan hak natural/alam dan memberikan pemberian langsung dari Tuhan. Oleh karenanya bila seseorang manusia ingin memperoleh kehidupannya yang bermartabat dari sudut sifat alamiah manusia secara hakiki. Hak asasi manusia bukan merupakan suatu hal baru. Akarnya telah mulai berkembang ketika orang-orang Yunani dan Romawi Kuno telah mengakui eksistensi hukum kodrat. Hukum kodrat boleh dirujuk oleh setiap warga negara bila timnul konflik dengan sistem-sistem hukum lain yang dirasakan tidak adil. Dalam perkembangannya, pemikiran humanis, demikian diserap oleh zaman Renaissance dan bertumbuh subur ketika era Aufklarung. Penyerapan ini memberikan kewenangan yang amat leluasa berkembangnya teori moralitas yang bersumberkan pada hakekat hak-hak hakiki dan individu.
Sejarah panjang perlekatan antara HAM dan individu mausia kemudian tertuang dalam sejumlah dokumen penting seperti Magna Charta (1215), Petition of Right (1628), Bill of Right (1689). Kelahiran Magna Charta (1215) didahului oleh pemaksaan kepada Raja Jhond Lockland agar mengakui hak-hak asasi manusia, antara lain: kemerdekaan seseorang tidak bebas disandera atau dirampas selain berdasarkan undang-undang atau keputusan hakim, dan pemungutan pajak tidak boleh dilakukan kalau hanya berdasarkan atas perintah Raja saja.
Semula tidak ada keseragaman penyebutan istilah mengenai hak asasi manusia ini. Sebelumnya dikenal Right of Man, menggantikan natural Right. Silang pengertian dan pemaknaan ini baru mendapatkan penegasan ketika Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan Universal Declaration of Humam Right 10 Desember. Deklarasi ini kemudian diikuti oleh lahirnya konvensi dan protokol sebagai berikut: The International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights, The International Convenant on Civil and Political Right, Optional Protocal for the Covenant on Civil and Political Right. Peristiwa ini dijadikan titik tolak sebagai hari Hak Asasi setiap tahunnya. Secara aklamarasi deklarasi tersebut diterima secara baik oleh Sidang Umum PBB tanggal 16 Desember 1966 dengan kesempatan memberi kesempatan kepada negara-negara anggota PBB untuk meratifikasinya. Majelis merekomendasikan agar semua negara-negara anggota dan semua rakyat untuk menggalakan dan menjamin pengakuan yang efektif dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan yang ditentukan didalam pernyataan ini. Dalam 30 pasal yang dimuat didalamnya, terdapat pengakuan hakl untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi hingga hak bebas dari perbudakan, menikah, beragama, hak perlindungan bagi perempuan (gender), lingkungan hidup dan lain-lain. Dapat dinyatakan lahirnya deklarasi ini memposisikan perlindungan hak yang maju lebih pesat ketimbang rumusan Jhon Locke ketika memperkenalkan hak kodrati manusia yang hanya meliputi hak, hak kemerdekaan dan hak milik saja.
Pada dasarnya terdapat dua hak dasar pada manusia yaitu pertama, hak manusia (human right) yaitu hak yang melekat pada manusia dan secara asasi ada sejak manusia itu dilahirkan. Ia berkaitan dengan eksistensi hidup manusia, bersifat tetap dan utama, tidak dapat dicabut, tidak bergantung dengan ada atu tidak adanya orang lain disekitarnya. Dalam sekala yang lebih luas hak asasi menjadi asas Undang-Undang. Wujud hak ini diantaranya berupa: kebebasan batin, kebebasan beragama, kebebasan hidup pribadi, atas nama baik, melakukan pernikahan, kebebasan untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat, emansipasi wanita. Kedua, hak Undang-Undang (legal rights) yaitu hak yang diberikan oleh Undang-Undang secara khusus kepada pribadi manusia. Oleh karena diberikan, maka sifat dan pengaturannya harus tertuang dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Barang siapa yang tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang maka kepadanya dapat dikenakan sanksi yang ditentukan oleh pembentuk Undang-Undang.
Dasar-dasar filosofi demikian, maka dapatlah kiranya dimengerti kalau hak yang diberikan dengan cara demikian ini sewaktu-waktu dapat dicabut menurut peraturan yang ditetapkan sebelumnya. Hak-hak khusus yang diberikan oleh Undang-Undang diantaranya: hak seorang menjadi pegawai negeri sipil atau anggota ABRI, hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu, hak untuk memeluk, beribadah, serta melaksanakan agama sesuai dengan pilihan dan keyakinan, hak untuk memperoleh pensiun dan jaminan hari tua, hak untuk memperoleh santunan asuransi kecelakaan, hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, hak untuk memperoleh upah yang layak dalam hubungan kerja, dan lain-lain.
Pada kehidupan bernegara, eksitensi lemah kuatnya struktur hak prbadi dan hak Undang-Undang tergantung dari kuat lemahnya hak sosial yang melingkupinya. Hak pribadi pada suatu negara yang mengutamakan kepentingan umum (negara sosialisasi) demikian lemah kedudukannya karena segala sesuatu harus mengutamakan kepentingan umum. Sebaliknya pada negara yang beristem liberalisme yang mengutamakan aspek individual, hak sosial akan memiliki kedudukan yang lebih lemah.
Hak-hak manusia disebut hak asasi, karena dianggap sebagai fundamen yang diatasnya seluruh organisasi hidup bersama harus dibangun dan merupakan asas-asas Undang-Undang. Maka hak-hak asasi itu menjadi jelas, bila pengakuan akan hak-hak tersebut dipandang sebagai bagian humanisasi hidup yang mulai digalang sejak manusia menjadi sadar tentang tugas dan tempatnya didunia ini. Personalnya sekarang, siapa penananggungjawab masalah perlindungan HAM ini?.
Secara teori ada dua pendapat mengenai tanggungjawab ini. Pertama adalah menjadi kewajiban pemerintah atau suatu negara hukum untuk mengatur pelaksanaan hak-hak asasi ini, yang berarti pelaksanaannya, mengatur pembatasan-penbatasanya demi kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara. Pandangan lain menyatakan bahwa pertanggung jawaban tidak harus berada pada negara namun juga segenap negara. Jadi, secara bersama-sama mempunyai kewenangan dal upaya perlindungan hak asasi ini. Hal ini disebabkan setidaknya ada beberapa faktor penyebab: (a). bahwa kepentingan HAM tidak hanya menyangkut kepentingan negara semata tetapi juga menyangkut kepentingan warga negara (b). HAM yang seutuhnya itu bersumber pada pertimbangan normatif agar manusia diperlakukan sebagaimana martabat manusia yang sesungguhnya (c) bahwa operasionalissi kegiatan HAM memiliki tanggungjawab bersama antara manusia dalam struktur negara yang saling harus berinteraksi dan harus diwujudkan.
Di Indonesia ketentuan mengenai hak asasi tercantum dalam pembukaan dan sejumlah pasal-pasal naskah asli UUD 1945 (saat ini telah mengalami empat kali amandemen): pembukaan UUD, Pasal 27 ayat 1, Pasal 27 ayat (2), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34. Dibandingkan dengan Undang-Undang Dasar lainnya yang pernah berlaku, UUD ini relatif lebih sedikit dan bersifat umum pengaturan mengenai HAM. UUDS misalnya dari 197 pasal, 30 pasalnya secara khusus memuat ketentuan tentang HAM. Amandemen UUD tahap II mengadopsi cukup banyak urusan mengenai hak asasi manusia sebagimana tertuang dalam pasal-pasal amandemen antara lain Pasal 18 B ayat 2, dan Pasal 27, Pasal 28 A hingga 281. Rekomendasi baru dalam pasal-pasal amandemen itu memuat secara tegas tidak hanya hak asasi namun juga kewajiban asasi.
Perwujudan hak dasar yang tertuang dalam UUD diatas kemudian yang dijabarkan dalam bentuk kebijakan dan sejumlah peraturan perundang-undangan yang disusun secara bersama antara Presiden bersama DPR. Selain membentuk kementrian khusus menangani urusan wanita dalam kabinet yaitu Menteri Negara Urusan Paranan Wanitasjak beberapa tahun terakhir sebagai upaya pelaksanaan konsep hak-hak asasi manusia, pemerintah juga menetapkan sejumlah peraturan perundang seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 22/Pnps/1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, Undang-Undang No 27 Tahun 1999 tentang perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan Negara, Undang-Undang No 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi anti penyiksaan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi anti Rasdimikrasi, dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Secara konsepsional berbagai paradigma baru itu telah mengakui nilai-nilai kemanusian yang universal, yaitu seluruh nilai-nilai yang dicantumkan dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia PBB telah dilalui Indonesia melalui Rencana Aksi Nasional (RAN) Hak Manusia Departemen Luar Negeri yang telah didahului pembentukan komisi nasional hak manusia (Kepres No.50 Tahun 1993). Rencana Aksi Nasional terakhir dirubah dengan keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2004.

Perlindungan HAM Tanggung Jawab Siapa?
Menurut deklarasi PBB tahun 1986, hak asasi manusia merupakan tujuan (end) sekaligus sarana (means) pembangunan. Turut sertanya masyarakat dalam pembangunan itu sendiri, dan menjadi tugas badan pembangunan bukan sekedar aspirasi, melainkan kunci keseluruhan hak asasi atas pembangunan itu sendiri, dan menjadi tugas badan-badan pembangunan Internasional maupun Nasional untuk menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu fokus utama pembangunan. Namun demikian fenomenahak asasi harus dicermati secara arif, sebab dalam masyarakat individualisme, ada kecenderungan menurut pelaksanaan hak asasi manusia ini secara berlebihan. Padahal hak-hak asasi manusia tidak dapat dituntut pelaksanaanya secara mutlak berarti melanggar hak asasi yang sama yang juga dimiliki oleh orang lain.
Telah menjadi kesepakatan berbagai bangsa persoalan anak ditata dalam suatu wadah Unicep (United Internasional Children Education Of Fund). Bagi Indonesia sendiri anak dikelompokan sebagai kelompok rentan. Dalam penjelasan pasal 5 ayat 3 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 disebutkan bahwa yang termasuk kelompok rentan adalah seorang lansia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat. Menyangkut masalah anak, bagaimana realisasi dari semua tatanan hukumnya di Indonesia? Terutama pelaksanaan ketentuan pasal 34 UUD 1945 mengenai kewajiban negara untuk melindungi harkat dan martabat anak, sudahkah negara melakukan upanya?
Arah kebijakan pembangunan yang dinamakan dan diamanatkan oleh GBHN 1999-2004 khusus agenda bidang hak asasi manusia meliputi:
a. Melaksanakan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supermasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia.
b. Melanjutkan ratifikasi konvensi Internasional, terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk Undang-Undang.
c. Meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan perlindungan, penghormatan dan penegakan hak asasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan.
d. Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang belum ditandatangani secara tuntas.
Ketika menetapkan UU No. 23 Tahun 2002 LN 109 TLN 4235 tentang perlindungan anak pemerintah menyadarkan sejumlah asumsi dasar mengapa disusun Undang-Undang ini. Diantaranya adalah bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia; bahwa anak adalah titipan Allah SWT, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya; bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan; bahwa agar setiapanak kelak mampu memikul tanggungjawab tersebut.


Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Demi terwujudnya anak Indonesia dari diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas mulia dan sejahtera. Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sendiri mungkin yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun.


BAB III
RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana asal-usul hak asasi yang telah menjadi perdebatan penting dari pergulatan pemikiran dalam sejarah konsep hak asasi manusia?
2. Siapakah yang menjadi tanggungjawab bagi anak yang terenggut haknya?


BAB IV
KESIMPULAN

Pertanyaan mengenai asal-usul hak asasi telah menjadi perdebatan penting dan amat panjang dari pergulatan pemikiran dalam sejarah konsep hak asasi manusia. Hak asasi manusia merupakan hak natural/alam dan merupakan pemberian langsung dari Tuhan. Oleh karena itu bila seseorang manusia ingin memperoleh kehidupannya yang bermartabat, harus memposisikan hak asasi dengan melihatnya dari sudut alamiah manusia secara hakiki. Hak asasi manusia bukan merupakan suatu hal yang baru. Akarnya telah mulai berkembang ketika orang-orang Yunani dan Romawi Kuno telah mengakui eksistensi hukum kodrat. Hukum kodrat boleh dirujuk oleh setiap warga negara bila timbul konflik dengan sistem-sistem hukum lain yang dirasakan tidak adil. Dalam perkembangannya, pemikiran humanis demikian diserap oleh zaman Renaissance dan bertumbuh subur ketika era Aufklarung. Penyerapan ini memberikan kewenagan yang amat leluasa berkembangnya teori moralitas yang bersumberkan pada hakekat hak-hak hakiki dan individu.





BAB V
PENUTUP

Kritik dan Saran
Dengan segala kekurangan kami, kami harapkan adanya kritik dan saran dari Bapak. Hal ini demi menyempurnakan makalah yanh kami buat dan agar kami tidak membuat kesalahan yang sama dalam tugas makalah berikutnya. Apapun kritik dan saran yang Bapak berikan, akan kami terima.

DAFTAR PUSTAKA

Almasasmita, Romli, 2001. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia, Maju Mundur, Bandung.

Steiner, Klenry. J & Alston Philip. 2000, Human Rights in context, Oxpord, University, Pers. New York.

Elsam 2003. Jurnal Hak Asasi Manusia, Jakarta.
BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Komunikasi merupakan unsur yang penting dalam aktivitas manajer keperawatan dan sebagai bagian yang selalu ada dalam proses manajemen keperawatan. Tergantung dari dimana posisi manajer dalam struktur organisasi. Berdasarkan hasil penelitian Swansburg (1990), bahwa lebih dari 80% waktu yang digunakan manajer untuk berkomunikasi 16% untuk membaca, 9% untuk menulis. Pengembangan keterampilan dalam komunikasi merupakan kiat sukses bagi seorang manajer keperawatan.
Karena terlalu banyak waktu yang digunakan oleh manajer adalah untuk komunikasi mendengar dan berbicara jadi jelas bahwa manajer harus mempunyai keterampilan komunikasi interpersonal yang baik. Manjer komunikasi dengan staf, pasien, atasan setiap hari. Karena praktik keperawatan berorientasi pada kelompok atau hubungan interpersonal dalam mencapai suatu tujuan organisasi maka untuk menciptakan komitmen dan rasa kebersamaan perlu ditunjang keterampilan manajer dalam berkomunkasi.

B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memenuhi salah satu tugas.
2. Untuk mengetahui tentang masalah komunikasi dan ketegasan dalam manajemen keperawatan.

C. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah study kepustakaan yang dijadikan acuan dan sumber.



BAB II
PEMBAHASAN


A. Proses Komunikasi
Tappen (1995) mendefinisikan bahwa komunikasi adalah suatu pertukaran pikiran, perasaan dan pendapat dan memberikan nasehat dimana terjadi antara dua orang atau lebih bekerja bekerjasama. Komunikasi juga merupakan seni untuk dapatnya menyusun dan menghantarkan suatu pesan dengan cara yang gampang sehingga orang lain dapat mengerti dan menerima.
Karena komunikasi adalah sesuatu yang komplek banyak model dipergunakan dalam menjelaskan bagaimana organisasi dan orang berkomunikasi. Dasar model yang umum sebagimana tersebut dalam gambar dibawah, dimana setiap komunikasi pasti adanya pengirim pesan, dan penerima pesan. Pesan tersebut dapat berupa verbal, tertulis, maupun nonverbal. Pada proses ini juga melibatkan suatu lingkungan internal dan eksternal, dimana komunikasi dilaksanakan. Lingkungan internal meliputi nilai-nilai, kepercayaan, temperamen, dan tingkat stres pengirim pesan dan penerima pesan. Sedangkan faktor eksternal meliputi keadaan cuaca, suhu, faktor kekuasaan dan waktu. Kedua belah pihak (pengirim dan penerima pesan) harus peka terhadap faktor internal dan eksternal, seperti persepsi dari komunikasi yang ditentukan oleh lingkungan eksternal yang ada.

B. Prinsip Komunikasi Manajer Keperawatan
Walaupun komunikasi dalam suatu organisasi adalah sangat kompleks, manajer dapat melaksanakan komunikasi melalui beberapa tahap tersebut dibawah ini:
1. Manajer harus mengerti struktur organisasi, termasuk pemahaman tentang siapa yang akan terkena dampak dari pengambilan keputusan yang telah dibuat. Oleh karena itu jaringan komunikasi formal dan informal perlu dibangun antara manajer dan staf.
2. Komunikasi bukan hanya sebagai perantara, akan tetapi sebagai bagian proses yang tak terpisahkan dalam kebijaksanaan organisasi.
Bagian lainnya akan terkena dampak akibat komunikasi, manajer harus konsultasi tentang isi komunikasi dan meminta umpan balik dari orang yang kompeten sebelum melakukan suatu perubahan atau tindakan.
3. Komunikasi harus jelas, sederhana, dan tepat. Dalam buku Nursalam (2001), ditekankan bahwa prinsip komunikasi seorang perawat profesional adalah CARE: Complete; Acurate; Rapid dan English artinya sebagai berikut:
Ciri khas perawat profesional dimasa depan dalam memberikan pelayanan keperawatan harus dapat berkomunikasi secara lengkap, adekuat, cepat. Artinya setiap melakukan komunikasi (lisan maupun tertulis) dengan teman sejawat dan tenaga kesehatan lainnya harus memenuhi ketiga unsur diatas didukung suatu fakta yang memadai. Profil perawat masa depan yang terpenting adalah mampu berbicara dan menulis bahasa asing, minimal bahasa Inggris. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi terjadinya persaingan atau pasar bebas pada abad ke-21 ini.
4. Manajer harus meminta umpan balik apakah komunikasi dapat diterima secara akurat. Salah satu cara untuk melakukannya pada proses ini adalah bertanya kepada penerima pesan untuk mengulangi pesan atau instruksi yang disampaikan.
5. Menjadi pendengar yang baik adalah komponen yang penting bagi manajer. Hal yang perlu dilakukan adalah menerima semua informasi yang disampaikan orang lain dan menunjukan rasa menghargai dan ingin tahu terhadap pesan yang disampaikan.

C. Model Komunikasi
1. Komunikasi tertulis
Komunikasi tertulis adalah bagian yang penting dalam organisasi. Dalam mencapai setiap kebutuhan individu atau staf, setiap organisasi telah mengembangkan metode penulisan dalam mengkomunikasikan pelayanan pengelolaan, misalnya publikasi perusahaan, surat menyurat ke staf, pembayaran dan jurnal. Manajer harus terlibat dalam komunikasi tertulis, khususnya staf.
Menurut Asosiasi Pendidikan Kesehatan di Amerika (1988) menyarankan bahwa komunikasi tertulis dan memo dalam suatu organisasi meliputi:
a. Mengetahui apa yang ingin disampaikan sebelum memulai menulis
b. Menulis nama orang dalam tulisan Anda perlu dipertimbangkan dampaknya.
c. Gunakan kata aktif, dimana akan mempunyai pengaruh yang baik.
d. Tulis kata yang sederhana, familier, spesifik dan nyata. Tulisan yang sederhana akan lebih mudah dipahami dan memungkinkan untuk dibaca orang lain.
e. Gunakan seminimal mungkin penggunaan kata-kata yang tidak penting. Temukan cara yang baik untuk menggambarkan inti tulisan sehingga orang lain mudah dimengerti.
f. Tulis kalimat dibawah 20 kata dan masukan satu persatu ide setiap kalimat. Tuliskan kalimat yang penting dan menjadi isu pertama.
g. Berikan pembaca petunjuk, konsistensi penggunaan istilah dan pesan.
h. Atur isi tulisan secara sistematis.
i. Gunakan paragraf untuk mempermudah pembaca, untuk memo antara 8-10 baris dan untuk surat tidak lebih dari 6 baris setiap paragraf.
j. Jelas fokus komunikasi didefinisikan secara jelas.
2. Komunikasi secara langsung
Manajer selalu mengadakan komunikasi verbal kepada atasan dan bawahan baik secara formal maupun informal. Mereka juga melakukan komunikasi secara verbal pada pertemuan formal, baik kepada individu dalam kelompok dan presentase secara formal.
Tujuan komunikasi verbal adalah “assertiveness”. Perilaku asertif adalah suatu cara komunikasi yang memberikan kesempatan individu untuk mengekspresikan perasaannya secara langsung, jujur dan cara yang sesuai tanpa menyinggung perasaan orang lain yang diajak komunikasi.
Hal yang harus dihindari pada komunikasi secara asertif, agresif khususnya agresif yang tidak langsung. Komunikasi pasif terjadi jika individu tidak tertarik terhadap topik atau karena enggan berkomunikasi. Komunikasi agresif terjadi jika individu merasa superior terhadap topik yang dibicarakan.
3. Komunikasi non-verbal
Komunikasi nonverbal adalah komunikasi dengan mengguankan expresi wajah pergerakan tubuh, dan sikap tubuh atau “body language”. Menurut Arnold & Boggs (1989) karena komunikasi nonverbal meliputi komponen emosi terhadap pesan yang diterima atau disampaikan, maka komunikasi nonverbal lebih mengandung arti yang signifikan dibandingkan komunikasi verbal. Tetapi akan menjadi sesuatu yang membahayakan jika komunikasi nonverbal diartikan salah tanpa adanya penjelasan secara verbal.
Dibawah ini adalah kunci bagian komunikasi nonverbal yang dapat terjadi tanpa atau dengan komunikasi verbal:
a. Lingkungan: tempat dimana komunikasi dilaksanakan merupakan bagian penting ada proses komunikasi.
b. Penampilan: pemakaian pakaian, kosmetik, dan sesuatu yang menarik merupakan bagian dari komunikasi verbal yang perlu diidentifikasi.
c. Kontak mata: kontak mata memberikan makna terhadap kesediaan seseorang untuk berkomunikasi.
d. Postur tubuh & Gesture: bobot suatu pesan bisa ditunjukan dengan orang yang menunjukan telunjuknya, berdiri atau duduk.
e. Ekspersi wajah: komunikasi yang efektif memerlukan suatu respon wajah yang setuju terhadap pesan yang disampaikan.
f. Suara: intonasi, volume, dan refleksi. Cara tersebut menandakan bahwa pesan dapat ditransfer dengan baik.
Manajer yang efektif akan melakukan komunikasi verbal dan non verbal, supaya individu (atasan atau bawahan) akan dapat menerima pesan secara jelas.
4. Komunikasi via telepon
Pada era millenium ini, manajer sangat tergantung melakukan komunikasi dengan menggunakan telepon. Dengan kemudahan sarana komunikasi tersebut, memungkinkan manajer untuk merespom setiap perkembangan dan masalah dalam organisasi. Oleh karena itu, untuk menjaga citra organisasi manajer dan semua staf harus belajar dan sopan serta menghargai setiap menjawab telpon. Jika orang lain harus menunggu untuk berbicara, maka waktu yang diperlukan harus singkat untuk menghindari kesan yang negatif.

D. Strategi Komunikasi dalam Praktek Keperawatan di Rumah Sakit
Komunikasi pada tahapan ini, tidak hanya secara spesifik yang ditujukan melalaui strategi perencanaan. Tetapi ke 3 komponen harus menjadi perhatian yang sama, yaitu: strukur, budaya, dan tekhnologi.
Pada srtuktur bertujuan untuk mencapai status praktik komunikasi yang dapat direncanakan dan diterapkan oleh kelompok kerja. Tetapi setiap struktur yang ada harus kelompok klinik yang dirancang untuk pelaksanaan prinsip-prinsip asuhan keperawatan kepada pasien, keterampilan yang baik dan dapat membantu dalam penyelesaian suatu masalah pada organisasi.
Budaya dalam suatu organisasi bukan sesuatu yang mudah untuk dirubah dalam waktu sesaat, tetapi kita percaya kita akan bekerja dengan lingkungan dan individu yang mempunyai budaya yang berbeda. Keadaan ini penting untuk diperhatikan perubahan suatu budaya dalam manajemen adalah aspek yang penting pada proses perubahan yang efektif.
Tekhnologi merupakan komponen ketiga dalam praktik komunikasi yang efektif. Komunikasi interpersonal dan secara organisasi sering diperlukan suatu perantara, yang disebut teknologi elektronik dan penggunaan media tersebut akan sangat bermanfaat pada masa yang akan datang. Setiap suatu perubahan di Rumah Sakit harus selalu didukung terhadap perencanaan tentang HIS (Health Information System) yang efektif. Komunikasi melalui teknologi akan selalu dipantau dan dievaluasi pada setiap tahap proses perubahan.

E. Aplikasi Komunikasi dalam Asuhan Keperawatan
Komunkasi dalam praktik keperawatan profesional merupakan unsur utama bagi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan untuk mencapai hasil yang optimal. Kegiatan keparawatan yang memerlukan komunikasi meliputi (1) timbang terima; (2) interview atau anamnesa; (3) komunikasi melalui komputer; (4) komunikasi dalam pendokumentasian; (7) komunikasi antara perawat dan profesi kesehatan lainnya; dan (8) komunikasi antara perawat dan pasien.
1. Komunikasi saat timbang terima
Pada saat timbang terima diperlukan suatu komunikasi yang jelas tentang kebutuhan klien terhadap apa yang sudah dilakukan intervensi dan yang belum, serta respon pasien yang terjadi. Perawat melakukan timbang terima dengan berjalan bersama dengan perawat lainnya dan menyampaikan kondisi pasien secara akurat didekat pasien. Cara ini akan lebih efektif dari pada harus menghabiskan waktu orang lain untuk membaca dan akan membantu perawat dalam menerima timbang terima secara nyata.
2. Interview atau Anamnesa
Anamnesa kepada pasien merupakan kegiatan yang selalu dilakukan oleh perawat kepada pasien pada saat pelaksanaan asuhan keperawatan (proses keperawatan). Perawat melakukan anamnesa kepada pasien, keluarga, dokter dan tim kerja lainnya. Interview adalah suatu komunikasi dengan tujuan tertentu untuk memperoleh data tentang keadaan klien yang akan dipergunakan dalam mendukung masalah yang dihadapi pasien dan melaksanakan tindakan secara akurat. Oleh karena interview adalah terencana, maka data yang didapatkan harus akurat tanpa bias.

Prinsip yang perlu diterapkan oleh perawat pada komunikasi ini adalah:
a. Hindarai komunikasi yang terlalu formal atau tidak tepat. Ciptakan suasana yang hangat, kekeluargaan.
b. Hindari interupsi. Komunikasi adalah suatu proses yang aktif yang memerlukan suatu pertanyaan yang fokus dan perlu perhatian. Hindari suatu interupsi atau gangguan yang timbul akibat dari lingkungan yang gadud.
c. Hindari respon dengan kata hanya “ ya dan tidak”. Respon tersebut akan mengakibatkan tidak berjalannya komunikasi dengan baik, karena perawat kelihatan kurang tertarik dengan topik yang dibicarakan dan enggan untuk berkomunikasi.
d. Jangan memonopoli pembicaraan. Meskipun kata-kata ya dan tidak meninggalkan kesan negatif, tetapi kata-kata tersebut perlu disampaikan dengan menambah kata-kata sesuai dengan topik yang dibicarakan.
e. Hindari hambatan personal keberhasilan suatu komunikasi sangat ditentukan oleh subjektifitas seseorang. Jika perawat sebelum komunikasi menunjukan rasa tidak senang kepada klien, maka keadaan ini akan berdampak terhadap hasil yang didapat selama proses komunikasi.
3. Komunikasi melalui komputer
Komputer merupakan suatu alat komunikasi cepat dan akurat pada manajemen keperawatan saat ini. Penulisan data-data klien dalam komputer akan mempermudah perawat lain dalam mengidentifikasi masalah pasien dan memberikan intervensi yang akurat. Melalui komputer, informasi-informasi terbaru dapat cepat didapatkan dengan menggunakan internet bila perawat mengalami kesulitan dalam mengenai masalah klien.

4. Komunikasi tentang kerahasiaan
Pasien yang masuk dalam sistem pelayanan kesehatan menyerahkan rahasia dan rasa percaya kepada institusi. Perawat sering dihadapkan pada suatu dilima dalam menyimpan rahasia pasien, disatu sisi dia membutuhkan informasi dengan menghubungkan apa yang dikatakan klien dengan orang lain, selain pihak dia harus memegang janji untuk tidak menyampaikan informasi tersebut kepada siapapun.
5. Komunikasi melalui sentuhan
Komunikasi melalui sentuhan kepada pasien merupakan metode dalam mendekatkan hubungan antara pasien dan perawat. Sentuhan yang diberikan oleh perawat juga sebagai terapi pasien, khususnya pasien yang depresi, kecemasan, dan kebingungan dalam mengambil suatu keputusan. Tetapi yang perlu dicatat dalam sentuhan tersebut adalah perbedaan jenis kelamin antara perawat dan pasien. Dalam situasi ini perlu adanya suatu persetujuan.
6. Dokumentasi sebagai alat komunikasi
Dokumentasi adalah salah satu alat yang sering kita gunakan dalam komunikasi keperawatan dalam memvalidasi asuhan keperawatan, sarana komunikasi antara tim kesehatan lainnya, dan merupakan dokumen paten dalam pemberian asuhan keperawatan.
Menurut Nursalam (2002) kapan saja perawat melihat pencatatan kesehatan perawat memberi dan menerima pendapat dan pemikiran. Dalam kenyataanya dengan semakin kompleknya pelayanan keperawatan dan peningkatan kualitas keperawatan, perawat tidak hanya dituntut untuk meningkatkan mutu pelayanan tetapi dituntut untuk dapat mendokumentasikan kepada tenaga kesehatan lainnya dan menjelaskan apa yang sudah, sedang dan akan dikerjakan oleh perawat.
Manfaat komunikasi dalam mendokumentasikan adalah:
a. Dapat digunakan ulang untuk keperluan yang bermanfaat
b. Mengkomunikasikan kepada tenaga perawat lainnya dan tenaga kesehatan apa yang sudah dan akan dilakukan kepada pasien.]
c. Manfaat dan data pasien yang akurat dan dapat dicatat.
7. Komunikasi perawat dan tim kesehatan lainnya.
Komunikasi yang baik akan meningkatkan hubungan profesional antar perawat dan tim kesehatan lainnya: dokter, ahli gizi, fisioterapis, dan alin-lain. Pengembangan model praktik keperawatan profesional merupakan sarana peningkatan komunikasi antara perawat dan tim kesehatan lainnya. Komunikasi yang dimaksudkan disini adalah adanya suatu kejelasan dalam pemberian informasi dari masing-masing individu sesuai dengan kedudukannya.

F. Hambatan dalam Komunikasi
1. Resistens
Resistens merupakan upaya klien untuk tetap tidak menyadari atau mengakui penyebab kecemasan dalam dirinya dalam rangka melawan atau menyangkal ungkapan perasaan (Struart, G.W., 1998).
Resistens ini biasanya terjadi pada fase kerja pada saat mulai dilakukannya pemecahan masalah. Resistens bisa disebabkan karena perawat terlalu cepat menggali masalah klien yang bersifat sangat pribadi (Thomas, M.D., 1991). Hal ini terjadi karena beberapa faktor, misalnya karena perawat berfokus pada diri sendiri, karena belum terbinanya hubungan saling percaya atau karena perawat terlalu banyak membuka diri.
Beberapa bentuk resistens menurut Struart G.W. (1998) antara lain:
a. Supresi
Klien mencoba menekan perasannya terhadap masalah yang dihadapi ke alam bawah sadar. Hal ini bisa terjadi karena klien belum percaya pada perawat, sehingga klien tidak ingin mengungkapkan perasaan atau permasalahannya pada perawat.

b. Gejala penyakit semakin mencolok
Ini sebagai reaksi klien untuk menunjukan pada perawat bahwa pertolongan perawat tidak ada artinya bahkan membuat penyakit klien seolah-olah bertambah parah.
c. Pesimis terhadap masa datang
Hal ini terjadi sebagai dampak ketidakpercayaan klien terhadap perawat.
d. Adanya hambatan intelektual
Adanya hambatan intelektual yang dapat diidentifikasi dari ucapan atau perilaku klien seperti:
- “Pikiran saya kosong”. “Saya tidak tahu harus bagaimana”.
- Klien tidak menepati janji, datang terlambat, pelupa, diam seribu bahasa, mengantuk terus, tidak perhatian.
e. Berprilaku tidak wajar
Misalnya klien dengan sengaja membuang makanannya didepan perawat atau setiap perawat mengajak berkomunikasi klien langsung pergi.
f. Bicara hal-hal yang bersifat “dangkal”
Klien hanya mau berbicara denagan perawat tentang hal-hal yang bersifat umum. Misalnya tentang keadaan klien saat ini, pendapat klien tentang rasa makanan, pada saat ini penadapat klien tentang rasa makanan lebih jauh tentang masalah yang dihadapinya klien tidak mau berespons.
g. Menolak untuk berubah
Hal ini dilakukan klien sebagai bentuk penolakan terhadap pertolongan perawat. Misalnya, ketika perawat menganjurkan klien untuk berinteraksi dengan klien lainnya, klien menolak dengan mengatakan saya lebih suka sendirian.

2. Transferens
Transferens merupakan respons tak sadar berupa perasaan atau perilaku terhadap perawat yang sebetulnya berawal dan berhubungan dengan orang-orang tertentu yang bermakna baginya pada waktu dia masih kecil (Struart, G.W., 1998). Sebagai contoh, ketika seorang klien merasa bahwa perawat yang merawatnya mirip sekali dengan pamannya yang waktu kecil sering memarahi dan memukulnya, klien tersebut akan bersifat negatif terhadap perawat. Klien tersebut mungkin akan bertingkah laku seperti menghindar atau memutuskan hubungan, membantah, mengkritik, ngomel, menjadi mudah lupa dan sebagainya.
Transferens juga merupakan suatu kumpulan reaksi yang timbul sebagai upaya mengurangi kecemasan dan ketidakpuasan klien terhadap perawat karena intensitas petemuan yang berlebihan (Stuart G.W., 1998).
Transferens dapat merugikan bila dibiarkan berlarut-larut dan tidak disadari atau tidak dikaji secara serius. Transferens bisa membuat klien sangat bergantung pada perawat atau bisa juga membuat klien sangat benci pada perawat.
Resistens dan transferens merupakan masalah yang sulit bagi perawat. Perawat harus siap menerima perasaan emosional yang positif maupun negatif dari klien yang sering kali sering tidak bersifat rasional. Hubungan tersebut menjadi terhenti dan tidak menguntungkan jika perawat tidak siap menerima perasaan klien.
Kadang-kadang resistens terjadi karena perawat dan tidak berada pada tujuan atau rencana yang telah dsetujui bersama. Hal ini terjadi kontrak pada tahap orientasi tidak jelas batasannya. Tindakan yang sesuai adalah kembali ketujuan, maksud, peran perawat dan klien dalam menjalin hubungan.
Apapun motivasi klien, analisis resistens dan transferens merupakan alat untuk memperoleh kembali kesadaran diri klien atas motivasinya dan belajar bertanggung jawab dalam semua tindakan dan tingkah lakunya (Struart, G.W., 1998). Hal-hal yang harus dilakukan adalah:
a. Mendengarkan
Mendengarkan dilakukan dengan penuh perhatian atas semua ungkapan klien. Perawat berusaha mendengarkan secara aktif semua ungkapan klien sambil memperhatikan respons nonverbalnya. Perawat tidak boleh menunjukan sikap menuduh atau menyalahkan terhadap apa yang dikatakan klien terhadap sikap klien terhadap perawat.
b. Klarifikasi dan refleksi
Ketika perawat mengetahui adanya resistens, klarifikasi dan refleksi perasaan dapat digunakan. Klarifikasi dapat menjadikan perawat lebih fokus terhadap apa yang terjadi. Refleksi isi pembicaraan dapat membantu pasien menjadi lebih sadar atas apa yang sedang terjadi dalam pikirannya. Refleksi perasaan dapat membantu klien menyadari perasaanya.
c. Menggali perilaku
Perilaku harus juga digali untuk dapat menganalisis alasan terjadinya perilaku tersebut. Penggalian dan analisis perilaku yang berhubungan erat dengan pengalaman dan pengetahuan dasar perawat. Perawat yang sudah berpengalaman dan mempunyai pengetahuan yang cukup tentang perilaku manusia tentu akan lebih mudah memahami dan menentukan perilaku yang ditampilkan klien.
3. Kontertransferens
Biasanya timbul dalam bentuk respons emosional, hambatan terapeutik ini berasal dari perawat yang dibangkitkan atau dipancing oleh sikap klien. Menurut Thomas M.D (1991) dan Stuart G.W. (1998), perawat harus segera menganalisis diri jika beberapa hal beberapa hal berikut terjadi pada saat merawat klien:
v Love dan caring berlebihan
v Benci dan marah berlebihan
v Cemas dan rasa bersalah yang muncul berulang-ulang
v Tidak mampu berempati terhadap klien
v Perasaan tertekan selama atau setelah proses
v Tidak bijaksana dalam membuat kontrak dengan klien, terlambat atau terlalu lama dan lain-lain.
v Mendukung ketergantungan klien
v Berdebat dengan klien atau memaksa klien sebelum klien siap.
v Menolong klien untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan sasaran asuhan keperawatan
v Menghadapi klien dengan hubungan pribadi atau sosial
v Melamunkan klien
Kontertransferens ini berdampak terhadap interaksi perawat klien. Klien mungkin merasa bahwa perawat sangat memperhatikannya dalam artian perhatian yang lebih dari hanya sekedar hubungan perawat klien. Sehingga klien menjadi besar kepala dan sulit berubah, atau klien mugkin menjadi manja dan sangat bergantung pada perawat. Sebaliknya, kontertransferens juga bisa membuat klien merasa bahwa perawat mengabaikan kebutuhannya atau klien mungkin merasa bahwa perawat membencinya sehingga klien tidak mau terbuka pada perawat.
Perawat yang berpengalaman selalu waspada akan adanya kontertransferens, sehingga dapat mengetahui hal tersebut terjadi dan mengatasinya agar tujuan terapeutik terlaksana. Menurut Stuart G.W. (1998), terdapat lima cara mengidentifikasi terjadinya kontertransferens: pertama, perawat harus mempunyai standar yang sama terhadap dirinya sendiri atas apa yang diharapkan kepada kliennya, kedua, perawat harus dapat menguji diri sendiri melalui latihan menjalin hubungan, terutama ketika klien menentang dan mengkritik, ketiga, perawat harus dapat menemukan sumber masalahnya, keempat, ketika kontertrasnferens terjadi, perawat harus dapat melatih dan mengontrolnya, kelima, jika perawat membutuhkan pertolongan dalam mengatasi kontertransferens, pengawasan secara individu maupun kelompok dapat lebih membantu.
Berdasarkan pengalaman penulis, kotertransferens, pengawasan secara individu maupun kelompok dapat lebih membantu.
Berdasarkan pengalaman penulis, kontertransferens memang tidak mudah diatasi. Akan tetapi berkat usaha yang sungguh-sungguh hal ini bisa diatasi.
Seandainya sangat sulit bagi seorang perawat untuk mengatasi kontertransferens, misalnya klien sangat mirip dengan mantan suami yang berselingkuh dengan tetangganya, mungkin lebih baik dia meminta teman sejawat untuk menggantikannya merawat klien tersebut.
4. Pelanggar Batas
Perawat perlu membatasi hubungannya dengan klien. Batas hubungan perawat klien adalah bahwa hubungan yang terapeutik, dalam hubungan ini perawat berperan sebagai penolong dan klien berperan sebagai yang ditolong. Baik perawat maupun klien harus menyadari batasan tersebut.
Pelanggaran batas bisa terjadi jika perawat melampaui batas hubungan yang dibina adalah bahwa hubungan terapeutik, dalam hubungan ini perawat berperan sebagai penolong dan klien berperan sebagai penolong dan klien berperan sebagai yang ditolong. Baik perawat maupun klien harus menyadari batasan tersebut.
Pelanggaran batas bisa terjadi jika perawat melampaui batas hubungan yang terapeutik dan membina hubungan sosial ekonomi atau hubungan personal dengan klien. Untuk mencegah terjadinya pelanggaran batas dalam berhubungan dengan klien, perawat sejak awal interaksi perlu menjelaskan atau membuat kesepakatan bersama klien tentang hubungan yang mereka jalin. Kemudian selama interaksi perawat perlu berhati-hati dalam berbicara agar tidak banyak terlibat dalam komunikasi sosial dengan klien. Dengan selalu berfokus pada tujuan interaksi, perawat bisa terhindar dari pelanggaran terhadap batas-batas dalam berhubungan dengan klien. Selalu mengingatkan kontrak dan tujuan interaksi setiap kali bertemu dengan klien juga dapat menghindari terjadinya pelanggaran batas ini.

5. Pemberian Hadiah
Pemberian hadiah adalah masalah yang kontroversial dalam keperawatan. Disatu pihak ada yang menyatakan bahwa pemberian hadiah dapat membantu dalam mencapai tujuan terapeuti, tapi dipihak lain ada yang menyatakan bahwa pemberian hadiah bisa merusak hubungan terapeutik.
Hadiah dapat dalam berbagai bentuk misalnya yang nyata seperti sekotak permen, rangkaian bunga, rajutan atau lukisan. Sedangkan yang tidak nyata bisa berupa ekspresi ucapan terima kasih dari klien kepada perawat sebagai orang yang akan meninggalkan rumah sakit, atau dari anggota keluarga yang lega dan berterimakasih atas bantuan perawat dalam meringankan beban emosional klien.
Karena pemberian hadiah ini bervariasi, tidak pantas bila setiap pemberian hadiah dihubungkan dengan tindakan perawat. Seringkali respons perawat terhadap pemberian hadiah bergantung pada waktu, situasi, dan konteks dari pemberian hadiah tersebut.
Pada tahap orientasi, pemberian hadiah dapat merusak hubungan, karena klien dapat memanipulasi perawat dengan cara mengatur hubungan dan mengatur batasan-batasan dalam berhubungan (Stuart dan Sundeen, 1998).
Dengan menerima hadiah dari klien, perawat mungkin akan merasa cenggung ketika misalnya harus melakukan konfrontsi atau perawat mungkin menyetujui saja apa yang dikatakan klien sekalipun itu tidak tepat atau membahayakan.
Sedangkan pemberian hadiah pada tahap terminasi memiliki arti lain dan kompleks serta sulit ditentukan. Pada saat ini pemberian hadiah dalam bentuk konkrit maupun abstrak adalah refleksi keinginan pasien yang membuat perawat bisa menjadi merasa bersalah, menunda proses terminasi, atau membantu pemindahan hubungan terapeutik perawat klien menjadi hubungan sosial. Perasaan yang timbul pada saat terminasi dapat sangat kuat, oleh karena itu harus ada pengetahuan sehingga terminasi dapat berjalan dengan baik.

G. Komunikasi Asertif
Secara garis besar sikap asertif dapat terbagi menjadi dua unsur: verbal dan non verbal. Untuk dikategorikan sebagai asertif, sebuah komunikasi harus mengandung kedua unsur ini. Mungkin saja seseorang mengatakan semua kata-kata yang benar, misalnya, “Saya ingin Anda mengembalikan baju yang Anda pinjam”, tetapi ia mengatakannya dengan cara yang agresif (tangan dipinggang, mata membelalak, suara tinggi) atau cara yang pasif (suara kecil, mata sedih, nada memohon) sehingga penerima pesan merasa tersinggung atau tidak nyaman.
Agar sebuah pesan benar-benar asertif, kata-kata dan irama dibalik kata-kata harus berjalan bersama. Misalnya, orang telah belajar bahwa kelemah-lembutan tidak diungkapkan dengan nada suara yang keras, bahwa pembicaraan intim tidak mengambil tempat diantara dua orang yang terpisah 5 meter, dan bahwa marah tidak diungkapkan dengan tersenyum. Sebenarnya, jika kata-kata dan irama tidak seiring maka akan sulitlah untuk mengetahui mana yang harus dipercaya. Akibatnya akan timbul kebingungan, dan respon yang wajar dari pendengar pesan yang campur aduk ini adalah penghindaran diri, menarik diri, marah atau beberapa bentuk jarak interpersonal lainnya.
1. Unsur Nonverbal
Serber (1977) menyebutkan bahwa unsur non-verbal dari perilaku adalah:
v Kekerasan suara
v Kelancaran mengatakan kata-kata
v Kontak mata
v Ungkapan wajah
v Ungkapan tubuh, dan
v Jarak dengan orang kepada siapa seseorang berinteraksi.

Kekerasan suara. Berteriak atau berisik bukanlah sikap asertif. Nada suara tidak tergantung pada isi pesan yang dikirim. Nada asertif harus tegas dan keras hingga terdengar jelas, tetapi tidak boleh terlalu keras sehingga membengkakan telinga penerima.
Kelancaran. Kelancaran mengatakan kata-kata juga tidak tergantung pada isi pesan. Orang menggunakan terlalu banyak penghentian atau kata-kata, “pengisin” seperti “uh”, “er”, “huh”, “anda tahu”, “seperti” dan sebagainya. Cenderung dilihat sebagai orang yang ragu, sedangkan orang yang bicara terlalu cepat sering dialami oleh orang lain sebagai orang yang bicara yang sedang dan tidak terputus-putus.
Kontak mata. Tidakkah mungkin untuk menjadi asertif bila tidak melihat kepada penerima yang diharapkan. Tanpa kontak mata, tidaklah terdapat cara untuk mengukur sebuah respon, dan penerima pesan terpaksa untuk masuk kepada pemberi pesan supaya memberikan umpan balik komunikasi. Tentu saja, membelalak atau menatap tajam adalah hal yang intrusif. Kontak mata asertif berarti bahwa seseorang mampu memandang wajah penerima secara (hampir) terus-menerus tetapi tanpa intensitas tertentu yang membuat penerima merasa ditantang.
Ungkapan wajah. Orang yang terkekeh-kekeh saat marah atau mengerutkan dahi saat mengatakan sayang, akan “menghianati” isi dari kata-kata mereka. Bila merah, janganlah tersenyum, bila menunjukan penghargaan, tersenyumlah. Meskipun ungkapan sulit untuk diukur atau digambarkan, kebanyakan orang telah tersosialisasi untuk mampu memilih ungkapan wajah yang cocok untuk arti kata-kata mereka. Bila seseorang tidak mampu untuk menyeleraskan kata-kata dengan irama, seringkali hal ini merupakan tanda-tanda dari rasa tidak nyaman atau kecemasan, karena keselarasan dan kecemasan merupakan reaksi-reaksi eksklusif yang saling menguntungkan. Maka menjadi selaras dapat membantu mengurangi kecemasan.

Ungkapan tubuh. Seperti ungkapan wajah, cara seseorang berdiri, duduk, atau bergerak sebenarnya menyampaikan sekumpulan sikap yang kompleks. Seseorang yang duduk membungkuk dapat dilihat sebagai marah, tidak berminat, atau ketakutan. Tangan menyilang dapat memberikan pesan bahwa seseorang berhati-hati, bersiaga atau tidak menerima. Tangan dipinggang dapat menunjukan perlawanan, perilaku merendahkan, sedangkan fostur yang kaku seperti kayu dapat menunjukan ketakutan. Orang yang asertif dalam ungkapan tubuhnya akan tampak santai tetapi tidak membungkuk, berdiri tegak tanpa mejadi kaku, dan menggunakan tangan serta bahu untuk menekankan pembicaraan mereka tanpa menjadi terlalu memaksa atau dasar.
Jarak. Seberapa jauh seseorang berdiri dari orang lain ketika berinteraksi akan berbeda-beda dalam setiap kebudayaan dan setiap orang. Istilah gelembung telah diterapkan untuk batas tidak kasat mata yang digunakan oleh seseorang untuk melindungi dirinya dari institusi orang lain. Di Eropa selatan misalnya, orang akan melihat betapa dekat jarak berdiri orang-orang Eropa ini ketika mereka sedang terlibat dalam pembicaraan.
2. Unsur Verbal
Apa yang dikatakan sama pentingnya dengan bagaimana cara seseorang mengatakannya. Misalnya, kemungkinannya kecil bahwa seseorang yang membuat pernyataan atau permintaan yang tidak jelas akan mendapat respon yang sesuai. Si pendengar belum tentu tidak responsif, tetapi pesannya terlalu samar untuk mendapatkan respon yang jelas. Cooley dan Hollandsworth (1977) telah menyebutkan tiga unsur verbal dari pernyataan yang asertif:
1. Mengatakan tidak atau menyatakan sikap
2. Meminta bantuan atau mempertahankan hak
3. Mengungkapkan perasaan


BAB III
KESIMPULAN

Komunikasi adalah keterampilan yang paling penting dalam kepemimpinan dan manajemen segala sesuatu yang dilakukan oleh pemimpin akan berhubungan dengan orang lain. Komunikasi dirumuskan sebagai suatu proses penyampaian informasi (pesan) antara atau diantara beberapa orang. Karenanya, komunikasi melibatkan seorang pengirim, sebuah pesan, dan seorang penerima, yang mungkin memberikan umpan balik kepada pengirim untuk menyatakan bahwa pesannya telah diterima. Karena tujuan dari suatu manajemen adalah untuk memotivasi sistem untuk mencapai tujuan, maka komunikasi diperlukan untuk memberikan kepada sistem suatu keterampilan untuk bekerja dan untuk memfasilitasi kemauan sistem untuk bekerja dalam satu tim dalam pencapaian tujuan.
Ada dua jenis komunikasi: verbal dan nonverbal. Dalam setiap jenis, komunikasi bisa satu atau dua arah. Komunikasi verbal meliputi kata-kata tertulis atau yang diucapkan. Komunikasi nonverbal meliputi bahasa tubuh. Komunikasi satu arah berarti sebuah pesan dikirim dari pengirim kepenerima dan tidak ada umpan balik. Pada komunikasi dua arah juga terjadi dua pengiriman sebuah pesan, tetapi terjadi umpan balik. Pimpinan berkomunikasi dengan menyampaikan, menjual, berperan serta, mendelegasikan, mendengarkan, dan memberi serta menerima umpan bailk.
Sikap asertif dalam interaksi antara dua orang berarti bahwa keduanya mengunkapkan kebutuhan, keinginan, dan perhatian mereka, keduanya saling mendengarkan dan memberiakn respon secara tidak mempertahankan diri. Sebuah pesan yang asertif berbeda dari komunikasi yang pasif atau agresif. Perilaku asertif mempunyai unsur verbal dan nonverbal. Unsur nonverbal meliputi kekerasan suara, kelancaran bicara, kontak mata, ungkapan wajah dan tubuh, ruang atau jarak diantara orang yang berinteraksi. Aspek verbal meliputi mengatakan tidak, meminta pertolongan, mengungkapkan perasaan, mengajukan hak, dan menyatakan sikap pada suatu isu.
DAFTAR PUSTAKA

Monica La Elaine L., 1998, KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN KEPERAWATAN; Pendekatan Berdasarkan Pengalaman, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
KOMUNIKASI DALAM MANAJEMEN KEPERAWATAN.
KOMUNIKASI TERAPEUTIK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar